Kawan ini adalah cerpen pertama yang ku tulis, silahkan dinikmati:
Didera Hampa
Panas begitu terik hari ini, menemani keringat payah Nafis jatuh bertemu bumi satu-satu. Langkahnya gontai, seperti daun yang terkena angin dan hendak lepas dari rantingnya. Matanya merah sayu, kalau ada yang menatapnya maka tak akan ada semangat hidup yang akan ditemui. Semuanya hampa.
Nafis hanya bisa merunduk di sepanjang langkah lunglainya. Menatap aspal panas. Dia lalu teringat kata-kata temannya dulu “ kita akan jadi orang sukses dan lalu kembali ke kampung dengan penuh kebanggaan”. Sebuah impian yang dulu begitu megah ia bangun di relung-relung batinnya, ia bumbungkan tinggi sekali. Tinggi sekali hingga sekarang ketika harus berjumpa kenyataan terasa sangat perih dan menyakitkan.
Tak terasa dia telah sampai di depan rumahnya. Dia berhenti beberapa saat tepat di depan pagar. Dia pandangi sesaat bangunan itu . Rumah bercat hijau tua yang tampak begitu kesepian. Dibukanya pintu gerbang yang selalu berbunyi jika dibuka, seperti menjerit pada entah apa. Tapi bunyi itu selalu mengusik hatinya, mungkin jeritnya sama dengan jerit hatinya. Dilangkahkan kakinya perlahan, ada perasaan yang pelan-pelan menyentuh hatinya. Perasaan terasing, ya perasaan itu yang ia rasakan. Terasing di rumah sendiri, sangat menyedihkan. Bahkan ia seperti harus berkenalan lagi dengan setiap sisi rumah itu. Langsung direbahkan tubuhnya di ranjang tua di kamar, terasa sedikit menyenangkan. Seandainya bisa akan ia rebahkan pula penatnya. Tak apa walau hanya sesaat, dia ingin merasakan kebebasan. Kebebasan yang dulu dia salah artikan sebagai sebuah kewenangan.
Mata merahnya tak bisa terpejam, tak mau terpejam lebih tepatnya. Setiap menutup mata selalu saja bayangan itu muncul. Bayangan yang selalu ganggu tiap malamnya. Bayangan seorang wanita. Sekarang dia hanya bisa menatap langit-langit kamarnya, kosong yang di lihatnya. Kemudian pecahlah tangis, ingin sekali dia menangis. Tiap tetes air matanya menggambarkan kepedihannya.. Entah sejak kapan dia bisa menangis seperti ini. Hidup kadang adalah kumpulan keanehan.
Dia tiba-tiba bangkit, di pandangnya sebuah bayangan wanita yang pipinya memar karena tamparan. Air matanya semakin deras. Lalu berjalanlah dia ke sebuah ruangan yang mirip dengan dapur. Ya itu dapur. Masih lekat di ingatannya saat dia siramkan minyak panas pada wanita itu. Air matanya berontak. Menembus bulu-bulu mata yang lusuh. Lalu jatuh satu-satu bercumbu dengan lantai. Mengenaskan. Foto buram masa lalu yang selalu hadir di antara ingatan-ingatan.
Foto-foto kehidupan yang harus membuatnya terpenjara dalam arti yang sebenarnya. Hanya karena salah satu pukulannya tak sengaja terlalu keras hingga wanita itu tak bisa bangun lagi, tak mau bangun lagi mungkin. Menyedihkan. Kini dia hanya bisa pukulkan tangannya ke dinding. Tangannya berdarah, ternyata dinding lebih kuat dari dia. Tapi dinding tak pernah memukulnya, seperti yang ia lakukan pada wanita itu.
Matanya yang merah kian basah, terduduk dia di sudut. Meringkuk memandang kenyataaan hidup. Seisi rumah seperti mengutukinya, tak mau berkawan lagi dengannya. Meninggalkannya dingin disana. Sendiri.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
keren bos,.. cuman pendek banget, lha wong namane juga cerpen, ya kan?
Posting Komentar
Sepatah komentar anda sangat bermanfaat bagi saya. *senyum lima belas centi*