RSS
email

Hati Parno

Angin berhembus menyeka rambut-rambut yang menari girang diudara. Senyuman-senyuman saling berpandang dan menemukan tawa di akhir baitnya. Parno mengangkat anaknya ke udara, diputarnya tubuh mungil itu membelah jalan angin. Tiba anaknya terbang dibawa angin tangannya tak mampu meraihnya. Kakinya terjerat pasir yang menelannya terus kedalam. Jerit anaknya makin mengecil seperti tubuhnya yang kian hilang.
"Tantri", teriak Parno dengan kerasnya.
Terbangun Dia dari tidurnya. Masih mengatur nafas tiba-tiba sebuah suara memecah pikirannya,
"hey jangan berisik kau ganggu orang tidur saja, belum puas makan malam tadi he?"
"sudah pak, maaf pak" lirih Parno menjawab.

Mimpi yang sangat tidak menyenangkan. Dilihat sekelilingnya. Sempit. Gelap. Dan pengap. Memar-memar di sekujur tubuhnya seakan-akan sedang mendendangkan nyanyian perih bersama-sama. Makan malamnya malam ini adalah berpuluh pukulan dari penjaga penjara. Begitulah suasana yang sudah hampir 2 bulan ini telah berteman baik dengan Parno. Padahal dia sama sekali tak minta berkenalan. Suasana ruang tahanan yang tak terurus.

Matanya diam menatap jeruji besi didepannya, tapi pikirannya melayang ke sebuah tempat jauh didalam hatinya. Ke sebuah ruang dimana dia menyimpan rapi senyum anaknya. Tantri. Tak sadar air matanya menetes deras dari pelupuk matanya bersama kerinduan yang meluap-luap dalam jiwanya. Dia tak ingin menangis, sungguh dia tak pernah sekalipun ingin menangis.

Pagi itu seperti hari-hari sebelumnya Parno mencari rumput untuk memberi makan 2 ekor sapi. Sapi-sapi itu dititipkan padanya untuk dipelihara. Sapi jantan dan betina, yang jantan dia beri nama Jaka Item karena memang badannya hitam sedang si betina dia beri nama Nyai Tungkling. Dinamai begitu karena kaki Nyai Tungkling memang agak pincang. Setiap hari pagi dan sore Parno akan mencari rumput di lapangan bola disebelah rumah kepala desa. Lapangan yang sudah tak pernah dipakai lagi, para pemuda yang dulu sering memakainya sudah pergi entah kemana. Desa sekarang hanya diisi orang-orang tua yang harapannya juga selalu terbang entah kemana.

Parno tahu pemuda-pemuda itu mengadu nasib ke kota, toh hanya sebagian dari mereka yang biasa kembali. Sebagian karena malas kembali, sebagian karena malu. Sabit Parno dengan lincah menari di atas rerumputan, sekeranjang rumput sudah dia dapat. Kalau sudah bekerja dia biasanya melupakan segalanya.
"dimana tantri..." pikirannya teringat anak gadisnya.
Gadis kecil itu bisanya berlari kesana-kemari di lapangan itu. Dilihatnya kesekeliling, tak di dapati anaknya itu.
"Tantri... tantri... tantri...", Parno mulai berteriak memanggil anaknya.

Setelah Istrinya pergi, hanya Tantrilah yang mengisi hatinya. Tantri seperti matahari pagi yang selalu menerbitkan semangat di hatinya. Seperti basah embun yang selalu sejukkan jiwanya.
"Tantri... tantri... tantri...", Parno mulai khawatir.
tak biasanya Tantri pergi seperti ini. Bayang-bayang istrinya yang meninggal karena kanker payudara memenuhi otaknya. Dia tak mau lagi kehilangan.

"Ayah.. Ayah.. Ayah.. !!" terdengar teriakan yang tak asing lagi.
Ditajamkan pendengarannya mencari darimana suara itu datang. Suara itu datang dari rumah Kepala Desa. Parno lari sambil masih membawa sabit ditangannya.
"Ayah!!", teriakan itu makin jelas. Makin cepat Parno berlari mendekati arah suara itu.


Betapa kaget Parno melihat kepala desa sedang berusaha menggagahi gadis kecilnya. Sepertinya setan sedang berdendang disitu, darah berlumur disabitnya. Sebelas potong tubuh tergeletak lemah tak berdaya. Tangis pecah diudara. Semua orang tenggelam dalam airmatanya. Tak lama setelah itu Parno ditangkap, dan dia tak tahu bagaimana nasib Tantri. Dia sangat rindu padanya.

Malam itu Parno tak bisa tidur lagi, semua akal dan pikirannya menuntunnya ke Tantri. Dia masih melamun. Matanya sayu dan putus asa, terbayang wajah istrinya yang tersenyum padanya. Disambutnya senyuman itu, Parno berlari mendekap istrinya.
"Pak.. Pak.. Bangun pak..", tubuh itu tak bereaksi.
Seorang laki-laki meraba urat nadinya, "Innalillahi wa inailahi raji'un"...

"Eh kamu denger nggak si Parno katanya mati lho?"
"Parno yang mana?"
"Yang ngebunuh kepala desa itu"
"oh dia, kok bisa?"
"kalo di koran si ditulisnya karena sakit, tapi aku yakin dia mati dipukuli sama polisi"
"Aku kasihan sama anaknya"
"bukannya anaknya masuk pusat rehabilitasi? katanya dia syok berat"
"Iya apalagi kalo dia denger kabar ini"

Angin sore bertiup pelan. Menuntun awan bolak-balik kesana kemari. Suasana suram menggelayut di lembayung senja. Burung-burung gagak menyanyikan lagu kematian di seantero sore. Sore itu tubuh Parno dikuburkan, tapi hatinya masih disini. Menemani putrinya. Putrinya yang tersenyum kosong dibangku Rumah Sakit. Angin masih menyeka rambutnya.

Bookmark and Share

5 komentar:

areta mengatakan...

nice one. very tragic.

simahir mengatakan...

Ya setuju .. a curious story of Mr. Parno..

Apakah ini terinspirasi dari dunia nyata?

M.H. Rofik mengatakan...

inspirasinya kalau ngqak salah ingat dari nonton berita kriminal.. :D

Irfan mengatakan...

Woowwzzz..

Abu Inayat mengatakan...

Tragis memang. erm maksih udah mampir ke blog aku

Posting Komentar

Sepatah komentar anda sangat bermanfaat bagi saya. *senyum lima belas centi*

 

Terjaga itu

Foto saya
manufacturing dream..

tukeran link

copy paste kode di bawah ini

<a target="blank" href="http://terjaga.blogspot.com"><img src="http://i575.photobucket.com/albums/ss191/terjaga/terjagastar2-1.jpg"></a>

Pengikut

networkedblog