Gadis yang Menunggu di Garis Finish
Apa yang salah dengan lagu ini
Kenapa kembali ku mengingatmu
Seakan bisa merasakan
getaran jantung dan langkah kakimu
Tolol. Mungkin itu yang bisa disematkan padaku sekarang. Semakin sering aku melewati tempat ini di waktu yang sama dengan rutinitas yang sama, memandangi lama-lama air mancur itu. Menelusuri sepintas pandangan disekelilingnya. Barangkali bisa kutemukan lagi. Tidak ada. Mungkin diputaran berikutnya. Kuseimbangkan lagi langkahku, aku tak mau merusak pace-ku.
---
Masih tergambar jelas di
pikiranku kejadian di hari itu. Sebulan yang lalu. Pagi itu aku tidak ada
niatan untuk lari sebenarnya, kasur dan fakta bahwa hari itu libur membuatku
tak ingin beranjak dari kamar. Tapi obrolan di group chat membuatku merasa
sepertinya membosankan jika pagi ini hanya dilewati hanya dengan
bermalas-malasan.
Pagi itu matahari masih
malu-malu bercahaya, sinarnya yang lembut menerobos melewati dedaunan seperti
anak-anak kecil berlarian mendengar bel pulang sekolah. Kelip-kelip ceria.
Udara seperti baru dilewati gerimis. Segar. Aku menghadap matahari sembari
mengangkat kedua tangan. Kuterima cahayanya satu-satu menyentuhku dengan
lembut. Ku pejamkan mata dan ku hirup nafas dalam-dalam. Ritualku menyambut
pagi. Menyapa matahari.
---
Ku tambatkan sepedaku di
tempat parkir. Kampus ini cukup menyediakan banyak tempat untuk memarkir sepeda
meski sekarang sepertinya mulai terasa kurang karena banyaknya mahasiswa yang memakai sepeda. Aku mengunci sepedaku. Sedikit melakukan gerakan pemanasan kemudian
menyiapkan playlist. Tak lupa menyalakan aplikasi lari.
Sebenarnya aku suka
berlari. Sudah beberapa kali aku ikut perlombaan. Meskipun tak pernah
benar-benar memenangkannya. Lari selalu memberikan sensasi yang unik. Lari seperti
membawa kita mengikuti waktu dengan kecepatan yang berbeda. Seperti kita memahami
dunia dengan kecepatan berbeda. Bergerak bersama dunia. Ikut berputar bersama
dunia.
Suasana cukup ramai, mungkin karena ajakan-ajakan di grup. Ada yang lari bersama rombongan, banyak pula yang lari sendiri. Tak sedikit pula lansia yang hanya berjalan. Semua bergerak dengan tujuan masing-masing. Entah untuk berolahraga, pengobatan atau mungkin hanya seperti aku, tak ingin mengisi waktu pagi dengan bermalas-malasan.
Aku dibesarkan dengan banyak berlari. Mengejar layangan jatuh, mengejar bus ke sekolah, mengejar gerbang sekolah yang hendak ditutup, mengejar matahari terbit. Iya sepertinya aku banyak mengejar. Tetapi hari ini aku berlari tanpa sesuatu pun yang ingin ku kejar. Aku hanya ingin berlari menikmati ritme langkah yang semakin lama semakin tak terasa. Menikmati ritme nafas yang semakin lama semakin menyentak-nyentak dada. Dan kemudian tenggelam dalam ritme jantung yang cepat berdetak.
Tapi hari itu bukan
berlari yang membuat jantungku berdetak cepat, bukan berlari yang
menjadikan nafasku tersentak. Bukan pula berlari yang menjadikan langkahku
seperti tak berasa. Menapak awan. Ya masih jelas dalam ingatanku bagaimana aku
melihatmu untuk pertama kali. Senyuman itu, senyuman yang mengacaukan ritmeku.
Wajah yang seperti disinggahi cahaya bulan, meneduhkan. Senyum yang tersungging
seperti pelangi, keindahan. Dan derai rambut yang ikut menari-nari bersama
angin pagi, melenakan. Gemericik air mancur seperti melodi yang menyatukan
keindahanmu dalam sebuah gubahan lagu. Lagu tentang rasa yang tak tertahankan.
Lagu tentang seorang perindu yang pertama kali melihat kekasihnya.
Bodohnya, aku tak tahu
harus berbuat apa. Seperti hilang kendali, aku terus berlari dan tersadar
ketika aku sudah terlalu jauh meninggalkannya dibelakang. Ah tentu saja, ini
adalah putaran. Aku akan menjumpainya di putaran selanjutnya. Maka tanpa sadar
langkahku semakin cepat. Dengan seketika sampai lagi aku dimana dia ada. Kamu masih ada, sedang memainkan senyummu. Memandangi gemericik air sambil
memikirkan entah. Lagi-lagi aku tak kuasa mengatur tubuhku. Aku terus berlari
sampai kemudian sudah kembali jauh. Ku percepat lagi langkahku berharap
menemukanmu lagi di putaran selanjutnya. Tak ada. Tak kutemukan kamu dimana-mana.
---
Hari ini seperti puluhan
kali sebelumnya aku berlari di tempat ini lagi sejak hari itu. Sebagian aku sudah tak terlalu berharap menemukanmu disitu. Perasaan untuk terus
berlari ini sudah cukup untukku. Paling tidak aku kini tahu garis finishku
belumlah terlihat. Belum saatnya berhenti. Paling tidak sekarang kini aku punya
sesuatu untuk dikejar. Sebagian aku masih tenggelam dalam harapan. Ya kamu seperti mata air yang menimbulkan banyak harapan. Harapan suatu saat bisa melihat lagi senyuman dan teduh wajahmu, harapan untuk mengenalmu, atau
harapan suatu saat nanti ada kamu yang akan menungguku di garis finish.
Menyiapkan handuk dan minuman dingin. Atau kamu juga suka berlari? Entahlah. Harapan-harapanku
tumbuh subur seperti jamur dimusim hujan. Aku tersenyum sambil berlari.
Lamunanku terhenti. Tunggu.
Siapa itu yang duduk mesra berdua di pinggir air mancur.
1 komentar:
ciri2 mas.. ciri-ciri?... biar nanti dicariin sama team kompak dimanakah gerangan keberaannya....
Posting Komentar
Sepatah komentar anda sangat bermanfaat bagi saya. *senyum lima belas centi*